POSTMODERNISME
Sejarah
Karakteristik postmodernisme, antara lain
manusia tidak lagi dilihat sebagai subyek bahasa, subyek pemikiran, subyek
sejarah, subyek wacana untuk memaknai realitas. Justru manusia dibicarakan oleh
struktur-struktur bahasa.[1]
Artinya, manusia dikendalikan oleh bahasa. Ini mengingatkan kita kepada
hipotesis relativitas bahasa, yakni cara pandang seseorang dipengaruhi oleh
bahasa yang dikuasainya. Akan tetapi, kadang kala kita terjebak oleh pernyataan
ini. Hal yang patut disadari bahwa posmodernisme timbul sebagai akibat
kegagalan aliran modern yang ditandai oleh dominasinya empirisme dan
rasionalisme serta kapitalisme yang telah meminggirkan peran agama sehingga
manusia mengalami disorientasi (kekacauan pandangan) dan pengasingan moral serta
mental. Maka muncullah sekelompok pemikir yang mendeklarasikan ‘Ayo dobrak’
sebagai inti paham ‘dekontruksi’. Kata-kata ini sangat lekat dengan
posmodernisme.
Definisi
Kata kuncinya adalah post (artinya pasca) yang menempel pada kata modernism. Modern itu sendiri berasal dari kata latin modo, just now, yakni baru saja. Pascamodern atau postmodernisme mengandung
arti akibat dari, setelah, pascakelahiran, pengembangan, dan penolakan. Pandangan
Ricard Appignanesi & Cris Garratt, menyatakan bahwa istilah ini dipakai
secara leluasa dan otomatis membingungkan sebagai akibat dari dua sikap, yakni
resistensi sekaligus pengaburan makna modernisme dan implikasi dari penguasaan
pengetahuan luas ihwal modernisme yang kini sudah terlampaui era baru. Postmodernisme
yang berkembang pada tahun 1960-an, yang pemikirannya berakar pada Nietczche
dan Heideger memanyungi berbagai prestasi budaya seperti sastra, seni,
arsitektur, sains, dan filsafat. Lebih jelasnya, kemudia Jean Francois Lyotard
memberi batasan postmodernisme sebagai berikut:
1.
Adanya
resistensi, keraguan, dan sikap skeptis terhadapa metanaratif, yakni teori
O’Donnnell Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta : Kanisius
[1] Dinyatakan oleh Kaelan (1998), dalam
A. Chaedar Alwasilah. 2008. Filsafat
Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Rosda, hlm. 121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar