Total Tayangan Halaman

Kamis, 11 Oktober 2012

Kajian Feminisme


“PEREMPUAN DI TITIK NOL”
DALAM KAJIAN FEMINISME SASTRA
A.    Pendahuluan
Sampai sekarang dirasa belum terjadi keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan tersebut dapat dilihat dari masih adanya anggapan bahwa perempuan memiliki ketPerbatasan dari segi fisik dan mental yang kemudian berpengaruh pada segi pembagian peran dan perlakuan dalam masyarakat. Karena anggapan adanya keterbatasan tersebut maka perempuan dianggap tidak layak menempati posisi tertentu.
Hal inilah yang mendorong kalangan orang yang selanjutnya disebut feminis memperjuangkan hak-hak perempuan. Karena perempuan adalah manusia maka perjuangan perempuan adalah perjuangan kemanusiaan juga. Perjuangan tersebut dilakukan dengan cara melawan segala bentuk penindasan terhadap perempuan. Penindasan terhadap perempuan ini telah demikian membudaya sehingga dianggap sebagai kewajaran. Novel “Perempuan di Titik Nol” kiranya adalah salah satu bentuk perlawanan Nawal El Saadawi terhadap kesewenang-wenangan masyarakat (kaum laki-laki) terhadap perempuan.

B.     Pembahasan
1.      Kajian Teori Feminisme
1.1.   Aliran Feminisme Sastra
            Feminisme berasal dari kata Feminism (Inggris) yang berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.[1] Pengertian feminisme juga dikemukakan oleh Kutha Ratna dalam buku yang , berjudul “Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra” mendefinisikan feminisme secara etimologis berasal dari kata femme (woman), yang berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas social.[2]
            Dalam teori-teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Melalui penjelasan ini dijelaskan bahwa kaum perempuan merasa tidak disejajarkan dengan laki-laki sehingga melahirkan keinginan kesetaraan gender. Feminisme yang lahir di awal abad 20 sangat pesat perkembangannya. Pelopor feminisme adalah Virginia Woolf.
            Feminisme sastra secara sosiologis mempunyai faham mengenai inferioritas perempuan. Sebagai salah satu aktivitas kulturas, sastra perempuan mesti dibedakan dengan sastra laki-laki, baik dalam kaitannya dengan penulis maupun pembaca. Dalam hubungan inilah kemudian berkembanglah istilah, seperti: androcentric (andro = laki-laki, berpusat pada laki-laki), phallocentric (phallus = kelamin laki-laki, berpusat pada laki-laki), androtext = ditulis oleh pria, gynotext  = ditulis oleh wanita, gynocritic = kritik sastra oleh kaum perempuan, dan sebagainya. 
1.2.   Teori Analisis Feminisme
Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek ketertindasan wanita atas diri pria.[3] Hal barusan mengisyaratkan pentingnya kesetaran dalam hak. Aspek ini juga berlaku bagi dunia kesastraan.
Dominasi laki-laki terhadap wanita, telah mempengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan konvensi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita selalu berada pada posisi bejuang terus-menerus ke arah kesetaraan gender; (2) penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah obyek fantastis yang menarik; (3) wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindak asusila, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi lemah.
Untuk meneliti karya sastra dari aspek feminis, peneliti perlu membaca teks sebagai wanita (reading a woman) dalam istilah Culler. Uraian diatas menjelaskan bahwa perlunya pembaca misalnya laki-laki menempatkan diri sebagai wanita agar aspek feminisme dalam karya sastra dapat dirasakan.
Perempuan punya tempat tersendiri dalam karya sastra yang menempatkan perempuan pada nilai-nilai kultural mempunyai kedudukan tak hanya sebagai masyarakat kelas dua tapi juga berperan sama pentingnya dengan kaum pria. Sehingga sebuah karya sastra tidak hanya menyajikan kekerasasan maupun berusaha menjadikan perempuan sebagai objek, karna dalam sastra feminin ini mencoba ingin meghapus perbedaan yang ada selama ini sehingga tercapai persamaan gender yang diinginkan.
Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi. Senada dengan paparan diatas publikasi dosen Universitas Padjajaran Witakania menyatakan Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu mayarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dalam tingkat psikologis dan budaya.[4]  



1.3. Gerakan Feminisme / Strategi Pembaharu dari Kaum Perempuan
Didalam kajian Feminisme sastra haruslah terdapat sebuah pertentangan dalam diri perempuan dan adanya usaha yang dilakukan seseorang perempuan tersebut sebagai aksi protes atau usaha pembaharu atas kejadian yang selama itu terjadi. Jika tidak mendatangkan atau mendapatkan penentangan dari pihak perempuan maka itu tidak bisa disebut dengan feminisme. Gerakan feminisme atau bentuk-bentuk protes yang terdapat dalam Novel Perempuan di Titik Nol ini yaitu bahwa Firdaus berlaku pasif dan menolak grasi untuk menunjukkan kebencian dan aksi protesnya terhadap laki-laki. Adapun hal tersebut, tergambar dalam kutipan-kutipan berikut:
Ia mengijinkan kaum lelaki menikmati tubuhnya, namun, ia menjamin bahwa para lelaki takkan pernah mampu membuatnya bereaksi, gemetar, atau merasakan nikmat atau sakit. “Saya belajar untuk melawan dengan cara bersikap pasif, untuk menjaga keutuhan diri tanpa memberikan apa-apa.”[5] Inilah yang dilakukan Firdaus sebagai bukti perlawanannya terhadap kaum lelaki. Kepasifannya merupakan suatu bentuk perlawanan, suatu kemampuan yang aneh untuk tidak merasakan kenikmatan ataupun sakit, tidak membiarkan sehelai rambutpun di atas kepala, atau pada tubuhnya bergerak. Ia berhasil menunjukkan eksistensinya melalui kepasifannya.
“Setiap kali saya memungut selembar surat kabar dengan gambar salah seorang di antara mereka di dalamnya, saya akan meludahinya.”[6] Inilah yang dilakukan Firdaus sebagai lambang perlawanannya terhadap kaum lelaki.
Selanjutnya, terdapat pernyataan Firdaus bahwa “Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.”[7] Pernyataan tersebut merupakan bentuk perlawanan Firdaus. Ia menolak grasi sebagai salah satu bentuk usahanya untuk menjaga harga dirinya sebagai perempuan.
1.4. Fungsi Feminisme dalam Novel Perempuan di Titik Nol
Nawal el-Saadawi melalui Novelnya Perempuan di Titik Nol mencoba menjadi agen perubahan terhadap keadaan Mesir pada saat itu. Nawal bermaksud agar novel tersebut dapat dijadikan gambaran kehidupan sebenarnya yang terjadi di Mesir pada masa itu sebagai masukan atau bisikan terhadap Pemerintah Mesir agar lebih memperhatikan perilaku dan moral rakyatnya sehingga apa yang dirasakan dan dialami oleh Firdaus tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
2.      Sinopsis Novel
Novel Perempuan di Titik Nol adalah novel terjemahan Karya Nawal el Saadawi dari ju dul asli Woman at Point Zero. Diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan yang bernama Firdaus yang mengalami penganiayaan, pelecehan seksual, dan perlakuan tidak wajar baik dari segi fisik maupun mental oleh banyak laki-laki.
Setelah ayah dan ibunya meninggal, Firdaus diasuh oleh pamannya. Walaupun pamannya bersikap lebih lembut dibanding ayahnya, tapi pamannnya tak melewatkan kesempatan untuk menikmati tubuh Firdaus.
Firdaus kemudian dikirim oleh pamannya ke sekolah menengah. Setelah lulus dengan nilai terbaik dari sekolah menengah tersebut, Firdaus dipaksa menikah dengan seorang lelaki tua berumur 60 tahun yang kaya raya yang pelit. Dalam kehidupan rumah tangganya, Firdaus sering kali di perlakukan kasar oleh suaminya. Firdaus pun melarikan diri dari rumah karena tidak mendapatkan rasa aman. Penganiayaan dari segi fisik seringkali dia alami hingga membuat muka memar di pipinya dan darah keluar dari hidungnya. Pernah dia pulang ke rumah pamannya namun oleh istri pamannya dia di usir dan di suruh kembali kepada suaminya yang renta itu. Inilah awal mula dia menjadi wanita jalanan.
Pertama, Firdaus bertemu Bayoumi, ia adalah seorang lelaki yang awalnya tampak baik. Namun ternyata  Bayoumilah  yang membawa Firdaus pada sebuah profesi yang disebut pelacur, bahkan selain Bayoumi dia juga dijamah oleh teman–teman Bayoumi. Karena Firdaus merasa tidak tahan atas semua perlakuan Bayoumi maka ia pun melarikan diri.
Setelah itu, ia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang ternyata tidak lebih dari seorang germo. Ia bernama Sharifa Salah el Dine. Dari pertemuannya dengan Sharifa, Firdaus menyadari bahwa tubuhnya memiliki harga tinggi, sehingga jika ada lelaki yang menginginkan tubuhnya maka ia harus mematok harga tinggi. Tetapi, selanjutnya, Firdaus mengalami konflik dengan pacar Shafira, akhirnya dia kembali melarikan diri. Di jalan dia bertemu dengan seseorang untuk kemudian melakukan persetubuhan. Setelah melakukan persetubuhan Firdaus di tinggali uang sepuluh pon. Mulai dari situlah, dia menyadari akan “harga diri”. Setelah kejadian tersebut, Firdaus memulai menjadi pelacur dengan meminta bayaran 20 pon sekali tidur.
Selanjutnya, Firdaus menjadi seorang pelacur mandiri yang berharga. Ia bisa membeli apa pun yang ia inginkan. Ia bisa berdandan secantik mungkin. Dan, yang paling penting, ia bisa memilih dengan siapa ia akan tidur.
Karena Firdaus menginginkan hidup yang normal layaknya perempuan–perempuan lain, ia pun berkesempatan bekerja di sebuah perusahaan industri, namun akhirnya ia pun  kembali ke dunia pelacuran lagi karena patah hati dengan kesombongan lelaki yang bernama Ibrahim. Disana ia bertemu dengan seorang germo yang memaksa Firdaus bekerja untuknya, germo itu bernama Marzouk.
Akhirnya, pengalaman hidupnya yang pahit telah mengubah Firdaus menjadi perempuan yang tak lagi mau diinjak-injak kaum pria. Ia memilih untuk membunuh sang germo yang diawali dengan sebuah pertengkaran. Tapi, Setelah itu ia pun kembali melayani seorang lelaki lagi, kali ini lelaki itu adalah seorang pejabat/keluarga kerajaan. Di akhir hubungan ranjang, Firdaus menampar lelaki itu karena ia terus menerus menanyakan tentang perasaan Firdaus, karena kesal Firdaus pun merobek – robek uang dari lelaki itu seraya berkata bahwa ia pernah membunuh seorang lelaki. Lelaki itu pun ketakutan sambil berteriak sampai akhirnya polisi datang dan menangkap Firdaus. Firdaus pun dimasukkan ke dalam penjara dan akhirnya ia dijemput untuk menerima hukuman mati.
3.      Kajian Feminisme Sastra dalam Novel Perempuan di Titik Nol
a)      Unsur Feminisme yang terkandung dalam Novel
  Berbicara tentang Feminisme sastra, maka hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari gender (laki-laki dan perempuan). Terkait dengan kajian Feminisme sastra, Suwardi Endaswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, menjelaskan bahwa dalam karya sastra Jawa klasik, perempuan adalah “obyek” erotis bagi laki-laki. Jika sastrawannya adalah laki-laki, obsesi yang tercermin dalam karya sastra nya bercampur dengan bayangan erotis.[8] Selanjutnya Suwardi menambahkan dominasi laki-laki terhadap wanita, telah mempengaruhi kondisi sastra, antara lain bahwa wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindakan asusila laki-laki, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi yang lemah.
Sedangkan terkait dengan hasil karya sastrawan perempuan, menurut Showalter dalam buku Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model,  Teori, dan Aplikasi menerangkan bahwa ada tiga fase tradisi penulisan sastra oleh wanita diantaranya adalah bahwa penulis wanita yang bersifat radikal. Wanita berhak memilih cara mana yang tepat untuk berekspresi.
Novel Perempuan di Titik Nol yang dikarang oleh sastrawan perempuan yang bernama Nawal el-Saadawi mengandung unsur feminism tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan hal tersebut di atas.
Novel Perempuan di Titik Nol ini, menceritakan tentang kebencian seorang perempuan yang sangat besar terhadap lelaki karena dia merasakan pelecehan dari laki-laki dari semua kalangan dan ketertindasan kaum perempuan oleh laki-laki tetapi dia tidak bisa melawannya. Tokoh utama yang bernama Firdaus ini merupakan tokoh yang bersikap antipati terhadap kaum lelaki. Tetapi dia tak bisa mengekspresikan pemberontakan jiwanya terhadap laki-laki, dia hanya berbuat pasif untuk menunjukkannya. Dia lebih memilih untuk diam dan mempertahankan harga dirinya sebagai bentuk pemberontakan. Termasuk kepasifannya menerima hukuman mati.
1. Pelecehan Seksual terhadap Perempuan
Firdaus telah merasakan pelecehan seksual dari laki-laki dari berbagai kalangan. Dari kalangan keluarga, dia mendapat pelecehan seksual dari pamannya sendiri. Selanjutnya, dari orang-orang yang tidak dikenal, Firdaus pun dilecehkan oleh Paman Firdaus, Bayoumi, teman Bayuomi, Fawzi, dll. Dari pengalaman pahit tersebut, dia berkesimpulan bahwa semua laki-laki adalah sama bejatnya dan menumbuhkan kebencian yang dalam pada dirinya terhadap laki-laki. Berikut adalah salah satu contoh kutipan pelecehan seksual yang diterima Firdaus dari Pamannya.
“Membuat adonan saya lakukan sambil berjongkok di lantai dengan palung dijepit antara kedua paha saya. Secara teratur, saya angkat gumpalan yang kenyal itu ke atas dan membiarkannya jatuh kembali ke dalam palung. Panasnya tungku mengenai muka saya, menggos ongkan ujung-ujung rambut saya. Galebaya saya acapkali menggelosor sehingga paha saya terbuka, tetapi tidak saya perhatikan, sampai pada suatu saat saya melihat tangan paman saya pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baca menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya dapat merasakan tangan itu menjelajahi kaki saya sampai paha dengan gerakan yang gemetaran dan sangat berhati-hati. Setiap kali terdengar suara langkah kaki orang di pintu rumah kami, tangannya akan segera ditarik kembali. Tetapi, apabila segala sesuatu di sekeliling kami menjadi sunyi kembali, hanya sekali-sekali dipecahkan oleh bunyi ranting-ranting kayu bakar dipatahkan antara jari-jari saya untuk memasukkannya ke dalam tungku, dan bunyi nafasnya yang teratur sampai di telinga saya dari balik buku sehingga saya tidak dapat mengatakan, apakah ia sedang mendengkur dengan tenangnya dalam tidur atau matanya terbuka lebar terengah-engah, dan tangannya akan terus menekan paha saya dengan meremas secara kasar.”[9]
2. Ketertindasan Kaum Perempuan oleh Kaum Laki-Laki
Adapun segmen yang melukiskan tentang ketertindasan kaum perempuan adalah sebagai berikut:
Dalam Novel ini diceritakan bahwa tokoh sejak kecil sudah dikuasai oleh ayah yang otoriter dan suka melakukan kekerasan terhadap perempuan, menginjak remaja ia mendapat perlakuan tidak senonoh dari paman sendiri, memasuki usia dewasa ia terjebak dalam perkawinan paksa dengan suami yang kikir dan bertipe pembeli wanita. Kemudian menjadi sapi perah para lelaki hidung belang yang bertindak sebagai germo, bahkan kemudian menjadi karyawan germo wanita dalam bisnis prostitusi. Ironisnya, selama masa penindasan tersebut, Firdaus hanya bisa menerima takdirnya. Barangkali itulah tugasnya dilahirkan di muka bumi ini.
Sedari kecil, Firdaus hanya menjalankan tugasnya sebagai perempuan, yaitu mengabdi kepada semesta lelaki. Pengabdian kepada ayah, paman, suami, dan Bayoumi. Selama rentang pengabdian itu, ia hanya menjadi objek kekerasan psikis dan fisik berkaitan dengan aktivitasnya. Ia tidak boleh memilih atau menolak takdirnya sebagai pengabdi. Dirinya bukan miliknya sendiri tetapi milik semesta laki-laki. Masalah kepemilikan diri ini terkristalisasi dalam masalah uang satu piaster seperti fragmen berikut:
Ayah belum pernah memberi satu uang. Saya bekerja di ladang, di rumah dan bersama-sama ibu makan sisa-sisa makanan ayah. Dan pada hari tidak ada sisa makanan dari ayah, saya pergi tidur tanpa makan malam. Pada hari Idul Adha saya melihat anak-anak membeli gula-gula dari warung jajanan. Saya pergi ke ibu sambil menangis dengan kerasnya. “Beri saya satu piaster!”. Dia menjawab, “Saya tidak punya piaster. Ayahmu itulah yang punya piaster”. Lalu saya mencari Ayah dan minta kepadanya satu piaster. Ia memukul tangan dan pundak saya serta menghardik, “Aku tak punya piaster”.[10] Dan kenyataannya, ketika saya kembali dari ladang sebagai persyaratan untuk mendapat satu piaster, dia memberi saya piaster itu. Itu adalah piaster pertama yang pernah ia berikan, piaster pertama yang seluruhnya menjadi milik saya, untuk digenggam di telapak tangan, dan dipegang serta dijepit oleh jari-jari saya. Uang itu bukan milik Ayah, bukan pula milik Ibu, tetapi milik saya untuk dibelikan apa yang saya kehendaki.[11]
Seperti tergambar dalam fragmen di atas, Firdaus hanya merasa pernah satu kali menerima haknya, yaitu menerima piaster yang diidamkan sejak kecil. Hak sebagai anak, istri, atau pelacur dengan berganti-ganti germo sulit atau bahkan tidak pernah didapatkan. Hal ini berlangsung hingga ia menjadi pelacur di bawah naungan germo perempuan. Sampai suatu ketika, seorang pemakai jasanya memberikan sepuluh pon, untuk dirinya sendiri. Dengan piaster sebesar sepuluh pon, tokoh baru berfikir untuk bebas memilih apa yang disukainya termasuk berapa harga jasanya dan siapa yang berhak memakai jasanya. Piaster ini kemudian menandai garis tipis namun tegas yang membangun kesadaran tokoh tentang kepemilikan atas tubuh dan jiwanya.
3. Keterbatasan Ruang Gerak Perempuan
Pada masa itu, dalam tradisi Mesir waktu itu tidak memberikan ruang gerak yang luas kepada kaum perempuan. Hal ini terjadi dengan upaya mendomestikasi perempuan dan melarang mereka masuk ke wilayah publik. Simak fragmen berikut:
Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.[12]
Perempuan mustahil untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Simak fragmen berikut:
“Apakah yang akan kau berbuat di Kairo, Firdaus?” lalu saya menjawab, “Saya ingin ke el-Azhar dan belajar seperti Paman”. Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa el-Azhar hanya untuk kaum pria saja. Lalu saya menangis, dan memegangi tangannya, sementara kereta api mulai bergerak maju. Tetapi ia menarik tangannya dengan sekuat tenaga dan secara tiba-tiba sehingga saya jatuh tertelungkup.”[13]
Saya mencoba baca beberapa kata. Kata-kata itu bagi saya seperti lambang-lambang penuh rahasia yang membuat diri saya diliputi perasaan agak ketakutan. El-Azhar adalah satu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh orang lelaki saja, dan paman merupakan salah seorang dari mereka, dan dia adalah seorang laki-laki.[14]
Dalam suatu pertengkaran mengenai tempat tinggal Firdaus setelah tamat sekolah menengah, terjadi tawar menawar antara Paman dan Istri:
“Apa yang akan kita perbuat dengannya?” “Kita bisa bebas dari dia dengan mengirimkannya ke universitas. Di sana dia dapat tinggal di asrama puteri”. “Ke universitas? Ke suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan dengan lelaki? Seorang syekh dan laki-laki yang saleh macam aku ini akan mengirimkan kemenakan untuk berbaur dengan kumpulan orang laki-laki?[15]
Dari beberapa percakapan di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan tidak mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi sehingga melahirkan kelemahan perempuan di segala sisi. Kelemahan ini akhirnya memaksa mereka untuk tanpa sadar dikuasai oleh lingkungannya tanpa sedikitpun memiliki hak untuk menawar.
C.    Penutup
1.      Novel Perempuan di Titik Nol merupakan karya sastra yang beraliran feminisme radikal;
2.      Unsur Feminisme yang terkandung dalam novel ini adalah bahwa di dalam novel ini menceritakan tentang pelecehan seksual, ketertindasan dan ruang gerak yang terbatas yang dirasakan oleh seorang perempuan;
3.      Gerakan feminism yang terdapat dalam novel tersebut yaitu ditunjukkan oleh sikap pasif dan menolak grasi;
4.      Dengan adanya novel ini diharapkan bahwa pemerintah Mesir akan lebih memperhatikan rakyatnya dan kejadian yang dialami Firdaus tidak akan terulang dalam masa yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA

El-Saadawi, Nawal. Perempuan di Titik Nol, (Terj.). 1992. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. 2003. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





[1] Departemen Pendidikan Nasional. 1995.  Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Kedua, Jakarta: Balai Pustaka
[2] Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. h. 184
[3] Suwardi Endaraswara. 2011. Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta : CAPS, h.145
[4] http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/sastra/dan/sastra/ feminis/dalam/kebudayan.pdf. h. 7-8
[5] Nawal el-Saadawi. Perempuan di Titik Nol (Terj). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992) h.124
[6] Ibid.  h. 15
[7] Ibid.  h. 66
[8] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi (Yogyakarta, Pustaka Widyatama, 2003) h. 144
[9]Nawal el-Saadawi. Perempuan di Titik Nol (Terj). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), h.20
[10]Ibid. h.92
[11]Ibid. h.93
[12]Ibid. h.26
[13]Ibid. h.30
[14]Nawal el-Saadawi. Perempuan di Titik Nol (Terj). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), Loc Cit
[15]Ibid. h.52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar