“PEREMPUAN DI TITIK NOL”
DALAM KAJIAN FEMINISME
SASTRA
A. Pendahuluan
Sampai sekarang dirasa belum terjadi keseimbangan antara laki-laki dan
perempuan. Ketidakseimbangan tersebut dapat dilihat dari masih adanya anggapan
bahwa perempuan memiliki ketPerbatasan dari segi fisik dan mental
yang kemudian berpengaruh pada segi pembagian peran dan perlakuan dalam
masyarakat. Karena anggapan adanya keterbatasan tersebut maka perempuan
dianggap tidak layak menempati posisi tertentu.
Hal inilah yang mendorong kalangan orang yang selanjutnya disebut feminis
memperjuangkan hak-hak perempuan. Karena perempuan adalah manusia maka
perjuangan perempuan adalah perjuangan kemanusiaan juga. Perjuangan tersebut
dilakukan dengan cara melawan segala bentuk penindasan terhadap perempuan.
Penindasan terhadap perempuan ini telah demikian membudaya sehingga dianggap
sebagai kewajaran. Novel “Perempuan di Titik Nol” kiranya adalah salah
satu bentuk perlawanan Nawal El Saadawi terhadap kesewenang-wenangan masyarakat
(kaum laki-laki) terhadap perempuan.
B. Pembahasan
1.
Kajian Teori Feminisme
1.1. Aliran Feminisme Sastra
Feminisme berasal dari kata Feminism
(Inggris) yang berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya
antara kaum wanita dan pria.[1] Pengertian
feminisme juga dikemukakan oleh Kutha Ratna dalam buku yang , berjudul “Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra” mendefinisikan feminisme secara
etimologis berasal dari kata femme (woman), yang berarti
perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan
(jamak), sebagai kelas social.[2]
Dalam teori-teori sastra
kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh
dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan
sama dengan kaum laki-laki. Melalui penjelasan ini dijelaskan bahwa kaum
perempuan merasa tidak disejajarkan dengan laki-laki sehingga melahirkan
keinginan kesetaraan gender. Feminisme yang lahir di awal abad 20 sangat pesat
perkembangannya. Pelopor feminisme adalah Virginia Woolf.
Feminisme sastra secara sosiologis
mempunyai faham mengenai inferioritas perempuan. Sebagai salah satu aktivitas
kulturas, sastra perempuan mesti dibedakan dengan sastra laki-laki, baik dalam
kaitannya dengan penulis maupun pembaca. Dalam hubungan inilah kemudian
berkembanglah istilah, seperti: androcentric (andro = laki-laki,
berpusat pada laki-laki), phallocentric (phallus = kelamin laki-laki,
berpusat pada laki-laki), androtext = ditulis oleh pria, gynotext = ditulis oleh wanita, gynocritic
= kritik sastra oleh kaum perempuan, dan sebagainya.
1.2. Teori
Analisis Feminisme
Analisis
dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek ketertindasan wanita
atas diri pria.[3] Hal barusan
mengisyaratkan pentingnya kesetaran dalam hak. Aspek ini juga berlaku bagi
dunia kesastraan.
Dominasi
laki-laki terhadap wanita, telah mempengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1)
nilai dan konvensi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga
wanita selalu berada pada posisi bejuang terus-menerus ke arah kesetaraan
gender; (2) penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita
adalah obyek fantastis yang menarik; (3) wanita adalah figur yang menjadi
bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindak asusila, pemerkosaan, dan
sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi lemah.
Untuk
meneliti karya sastra dari aspek feminis, peneliti perlu membaca teks sebagai
wanita (reading a woman) dalam
istilah Culler. Uraian diatas menjelaskan bahwa perlunya
pembaca misalnya laki-laki menempatkan diri sebagai wanita agar aspek feminisme
dalam karya sastra dapat dirasakan.
Perempuan
punya tempat tersendiri dalam karya sastra yang menempatkan perempuan pada
nilai-nilai kultural mempunyai kedudukan tak hanya sebagai masyarakat kelas dua
tapi juga berperan sama pentingnya dengan kaum pria. Sehingga sebuah karya
sastra tidak hanya menyajikan kekerasasan maupun berusaha menjadikan perempuan
sebagai objek, karna dalam sastra feminin ini mencoba ingin meghapus perbedaan
yang ada selama ini sehingga tercapai persamaan gender yang diinginkan.
Pembicaraan
perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender. Analisis
feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan
persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi. Senada dengan paparan diatas publikasi dosen
Universitas Padjajaran Witakania menyatakan Teori sastra
feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu mayarakat, suatu
kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat
bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dalam
tingkat psikologis dan budaya.[4]
1.3. Gerakan Feminisme
/ Strategi Pembaharu dari Kaum Perempuan
Didalam kajian Feminisme
sastra haruslah terdapat sebuah pertentangan dalam diri perempuan dan adanya
usaha yang dilakukan seseorang perempuan tersebut sebagai aksi protes atau
usaha pembaharu atas kejadian yang selama itu terjadi. Jika tidak mendatangkan
atau mendapatkan penentangan dari pihak perempuan maka itu tidak bisa disebut
dengan feminisme. Gerakan feminisme atau bentuk-bentuk protes yang
terdapat dalam Novel Perempuan di Titik Nol ini yaitu bahwa Firdaus berlaku pasif dan menolak grasi untuk
menunjukkan kebencian dan aksi protesnya terhadap laki-laki. Adapun hal
tersebut, tergambar dalam kutipan-kutipan berikut:
Ia
mengijinkan kaum lelaki menikmati tubuhnya, namun, ia menjamin bahwa para
lelaki takkan pernah mampu membuatnya bereaksi, gemetar, atau merasakan nikmat
atau sakit. “Saya belajar untuk melawan
dengan cara bersikap pasif, untuk menjaga keutuhan diri tanpa memberikan
apa-apa.”[5]
Inilah yang dilakukan Firdaus sebagai bukti perlawanannya terhadap kaum
lelaki. Kepasifannya merupakan suatu bentuk perlawanan, suatu kemampuan yang
aneh untuk tidak merasakan kenikmatan ataupun sakit, tidak membiarkan sehelai
rambutpun di atas kepala, atau pada tubuhnya bergerak. Ia berhasil menunjukkan
eksistensinya melalui kepasifannya.
“Setiap kali saya memungut selembar
surat kabar dengan gambar salah seorang di antara mereka di dalamnya, saya akan
meludahinya.”[6]
Inilah yang dilakukan Firdaus sebagai lambang perlawanannya terhadap kaum
lelaki.
Selanjutnya, terdapat
pernyataan Firdaus bahwa “Setiap
orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan
daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.”[7]
Pernyataan tersebut merupakan bentuk perlawanan Firdaus. Ia menolak grasi
sebagai salah satu bentuk usahanya untuk menjaga harga dirinya sebagai
perempuan.
1.4. Fungsi Feminisme
dalam Novel Perempuan di Titik Nol
Nawal
el-Saadawi melalui Novelnya Perempuan di Titik Nol mencoba menjadi agen
perubahan terhadap keadaan Mesir pada saat itu. Nawal bermaksud agar novel
tersebut dapat dijadikan gambaran kehidupan sebenarnya yang terjadi di Mesir
pada masa itu sebagai masukan atau bisikan terhadap Pemerintah Mesir agar lebih
memperhatikan perilaku dan moral rakyatnya sehingga apa yang dirasakan dan
dialami oleh Firdaus tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
2.
Sinopsis Novel
Novel
Perempuan di Titik Nol adalah
novel terjemahan Karya Nawal el Saadawi dari ju dul asli Woman
at Point Zero. Diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor
Indonesia. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan yang bernama
Firdaus yang mengalami penganiayaan, pelecehan seksual, dan perlakuan tidak
wajar baik dari segi fisik maupun mental oleh banyak laki-laki.
Setelah
ayah dan ibunya meninggal, Firdaus diasuh oleh pamannya. Walaupun
pamannya bersikap lebih lembut dibanding ayahnya, tapi pamannnya tak
melewatkan kesempatan untuk menikmati tubuh Firdaus.
Firdaus kemudian dikirim
oleh pamannya ke sekolah menengah. Setelah lulus dengan nilai terbaik
dari sekolah menengah tersebut, Firdaus dipaksa menikah dengan seorang lelaki
tua berumur 60 tahun yang kaya raya yang pelit. Dalam kehidupan rumah tangganya, Firdaus sering
kali di perlakukan kasar oleh suaminya. Firdaus pun melarikan
diri dari rumah karena tidak mendapatkan rasa aman. Penganiayaan dari segi
fisik seringkali dia alami hingga membuat muka memar di pipinya dan darah
keluar dari hidungnya. Pernah dia pulang ke rumah pamannya namun oleh istri
pamannya dia di usir dan di suruh kembali kepada suaminya yang renta itu. Inilah awal mula
dia menjadi wanita jalanan.
Pertama, Firdaus bertemu
Bayoumi, ia adalah seorang lelaki yang awalnya tampak baik. Namun
ternyata Bayoumilah yang membawa Firdaus pada sebuah profesi yang
disebut pelacur, bahkan selain Bayoumi dia juga dijamah oleh teman–teman
Bayoumi. Karena Firdaus merasa tidak tahan atas semua perlakuan Bayoumi
maka ia pun melarikan diri.
Setelah itu, ia bertemu dengan seorang perempuan
cantik yang ternyata tidak lebih dari seorang germo. Ia
bernama Sharifa Salah el Dine. Dari pertemuannya dengan Sharifa,
Firdaus menyadari bahwa tubuhnya memiliki harga tinggi,
sehingga jika ada lelaki yang menginginkan tubuhnya maka ia harus mematok harga
tinggi. Tetapi, selanjutnya, Firdaus mengalami konflik dengan pacar Shafira,
akhirnya dia kembali melarikan diri. Di jalan dia bertemu dengan seseorang
untuk kemudian melakukan persetubuhan.
Setelah melakukan persetubuhan Firdaus di tinggali uang sepuluh pon. Mulai dari
situlah, dia menyadari akan “harga diri”. Setelah kejadian tersebut, Firdaus
memulai menjadi pelacur dengan meminta bayaran 20 pon sekali tidur.
Selanjutnya, Firdaus menjadi
seorang pelacur mandiri yang berharga. Ia bisa membeli
apa pun yang ia inginkan. Ia bisa berdandan secantik mungkin. Dan, yang paling
penting, ia bisa memilih dengan siapa ia akan tidur.
Karena
Firdaus menginginkan hidup yang normal layaknya perempuan–perempuan lain, ia
pun berkesempatan bekerja di sebuah perusahaan industri, namun akhirnya ia
pun kembali ke dunia pelacuran lagi
karena patah hati dengan kesombongan lelaki yang bernama Ibrahim. Disana ia
bertemu dengan seorang germo yang memaksa Firdaus bekerja
untuknya, germo itu bernama Marzouk.
Akhirnya,
pengalaman
hidupnya yang pahit telah mengubah Firdaus menjadi perempuan yang tak lagi mau
diinjak-injak kaum pria. Ia memilih untuk membunuh sang germo yang
diawali dengan sebuah pertengkaran. Tapi, Setelah itu ia pun kembali melayani
seorang lelaki lagi, kali ini lelaki itu adalah seorang pejabat/keluarga
kerajaan. Di akhir hubungan ranjang, Firdaus menampar lelaki itu karena ia
terus menerus menanyakan tentang perasaan Firdaus, karena kesal Firdaus pun
merobek – robek uang dari lelaki itu seraya berkata bahwa ia pernah membunuh
seorang lelaki. Lelaki itu pun ketakutan sambil berteriak sampai akhirnya
polisi datang dan menangkap Firdaus. Firdaus pun dimasukkan ke dalam penjara dan
akhirnya ia dijemput untuk menerima hukuman mati.
3.
Kajian Feminisme Sastra
dalam Novel Perempuan di Titik Nol
a)
Unsur Feminisme yang
terkandung dalam Novel
Berbicara tentang Feminisme sastra, maka hal
tersebut tidak dapat dipisahkan dari gender (laki-laki dan perempuan). Terkait
dengan kajian Feminisme sastra, Suwardi Endaswara dalam bukunya Metodologi
Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, menjelaskan bahwa
dalam karya sastra Jawa klasik, perempuan adalah “obyek” erotis bagi laki-laki.
Jika sastrawannya adalah laki-laki, obsesi yang tercermin dalam karya sastra
nya bercampur dengan bayangan erotis.[8]
Selanjutnya Suwardi menambahkan dominasi laki-laki terhadap wanita, telah
mempengaruhi kondisi sastra, antara lain bahwa wanita adalah figur yang menjadi
bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindakan asusila laki-laki,
pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi yang
lemah.
Sedangkan terkait dengan
hasil karya sastrawan perempuan, menurut Showalter dalam buku Metodologi
Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi menerangkan bahwa ada tiga fase
tradisi penulisan sastra oleh wanita diantaranya adalah bahwa penulis wanita
yang bersifat radikal. Wanita berhak memilih cara mana yang tepat untuk
berekspresi.
Novel Perempuan di Titik Nol
yang dikarang oleh sastrawan perempuan yang bernama Nawal el-Saadawi mengandung
unsur feminism tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan hal
tersebut di atas.
Novel Perempuan di Titik Nol
ini, menceritakan tentang kebencian seorang perempuan yang sangat besar
terhadap lelaki karena dia merasakan pelecehan dari laki-laki dari semua
kalangan dan ketertindasan kaum perempuan oleh laki-laki tetapi dia tidak bisa
melawannya. Tokoh utama yang bernama Firdaus ini merupakan tokoh
yang bersikap antipati terhadap kaum lelaki. Tetapi dia tak bisa
mengekspresikan pemberontakan jiwanya terhadap laki-laki, dia hanya berbuat
pasif untuk menunjukkannya. Dia lebih memilih untuk diam dan
mempertahankan harga dirinya sebagai bentuk pemberontakan. Termasuk
kepasifannya menerima hukuman mati.
1. Pelecehan
Seksual terhadap Perempuan
Firdaus telah merasakan
pelecehan seksual dari laki-laki dari berbagai kalangan. Dari kalangan
keluarga, dia mendapat pelecehan seksual dari pamannya sendiri. Selanjutnya,
dari orang-orang yang tidak dikenal, Firdaus pun dilecehkan oleh Paman
Firdaus, Bayoumi, teman Bayuomi, Fawzi, dll. Dari
pengalaman pahit tersebut, dia berkesimpulan bahwa semua laki-laki adalah sama
bejatnya dan menumbuhkan kebencian yang dalam pada dirinya terhadap laki-laki.
Berikut adalah salah satu contoh kutipan pelecehan seksual yang diterima
Firdaus dari Pamannya.
“Membuat adonan saya lakukan sambil
berjongkok di lantai dengan palung dijepit antara kedua paha saya. Secara teratur,
saya angkat gumpalan yang kenyal itu ke atas dan membiarkannya jatuh kembali ke
dalam palung. Panasnya tungku mengenai muka saya, menggos ongkan ujung-ujung
rambut saya. Galebaya saya acapkali menggelosor sehingga paha saya terbuka,
tetapi tidak saya perhatikan, sampai pada suatu saat saya melihat tangan paman
saya pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baca menyentuh kaki
saya. Saat berikutnya saya dapat merasakan tangan itu menjelajahi kaki saya
sampai paha dengan gerakan yang gemetaran dan sangat berhati-hati. Setiap kali
terdengar suara langkah kaki orang di pintu rumah kami, tangannya akan segera
ditarik kembali. Tetapi, apabila segala sesuatu di sekeliling kami menjadi
sunyi kembali, hanya sekali-sekali dipecahkan oleh bunyi ranting-ranting kayu
bakar dipatahkan antara jari-jari saya untuk memasukkannya ke dalam tungku, dan
bunyi nafasnya yang teratur sampai di telinga saya dari balik buku sehingga
saya tidak dapat mengatakan, apakah ia sedang mendengkur dengan tenangnya dalam
tidur atau matanya terbuka lebar terengah-engah, dan tangannya akan terus
menekan paha saya dengan meremas secara kasar.”[9]
2. Ketertindasan
Kaum Perempuan oleh Kaum Laki-Laki
Adapun
segmen yang melukiskan tentang ketertindasan kaum perempuan adalah sebagai berikut:
Dalam
Novel ini diceritakan bahwa tokoh sejak kecil sudah dikuasai oleh ayah yang
otoriter dan suka melakukan kekerasan terhadap perempuan, menginjak remaja ia
mendapat perlakuan tidak senonoh dari paman sendiri, memasuki usia dewasa ia
terjebak dalam perkawinan paksa dengan suami yang kikir dan bertipe pembeli
wanita. Kemudian menjadi sapi perah para lelaki hidung belang yang bertindak
sebagai germo, bahkan kemudian menjadi karyawan germo wanita dalam bisnis
prostitusi. Ironisnya, selama masa penindasan tersebut, Firdaus
hanya
bisa menerima takdirnya. Barangkali itulah tugasnya dilahirkan di muka bumi
ini.
Sedari
kecil, Firdaus hanya menjalankan tugasnya sebagai perempuan, yaitu
mengabdi kepada semesta lelaki. Pengabdian kepada ayah, paman, suami, dan
Bayoumi. Selama rentang pengabdian itu, ia hanya menjadi objek kekerasan psikis
dan fisik berkaitan dengan aktivitasnya. Ia tidak boleh memilih atau menolak
takdirnya sebagai pengabdi. Dirinya bukan miliknya sendiri tetapi milik semesta
laki-laki. Masalah kepemilikan diri ini terkristalisasi dalam masalah uang satu
piaster seperti fragmen berikut:
Ayah belum pernah
memberi satu uang. Saya bekerja di ladang, di rumah dan bersama-sama ibu makan
sisa-sisa makanan ayah. Dan pada hari tidak ada sisa makanan dari ayah, saya
pergi tidur tanpa makan malam. Pada hari Idul Adha saya melihat anak-anak
membeli gula-gula dari warung jajanan. Saya pergi ke ibu sambil menangis dengan
kerasnya. “Beri saya satu piaster!”. Dia menjawab, “Saya tidak punya piaster.
Ayahmu itulah yang punya piaster”. Lalu saya mencari Ayah dan minta kepadanya
satu piaster. Ia memukul tangan dan pundak saya serta menghardik, “Aku tak
punya piaster”.[10]
Dan kenyataannya, ketika saya kembali dari ladang sebagai persyaratan untuk
mendapat satu piaster, dia memberi saya piaster itu. Itu adalah piaster pertama
yang pernah ia berikan, piaster pertama yang seluruhnya menjadi milik saya,
untuk digenggam di telapak tangan, dan dipegang serta dijepit oleh jari-jari
saya. Uang itu bukan milik Ayah, bukan pula milik Ibu, tetapi milik saya untuk
dibelikan apa yang saya kehendaki.[11]
Seperti
tergambar dalam fragmen di atas, Firdaus hanya merasa pernah satu
kali menerima haknya, yaitu menerima piaster yang diidamkan sejak kecil. Hak
sebagai anak, istri, atau pelacur dengan berganti-ganti germo sulit atau bahkan
tidak pernah didapatkan. Hal ini berlangsung hingga ia menjadi pelacur di bawah
naungan germo perempuan. Sampai suatu ketika, seorang pemakai jasanya
memberikan sepuluh pon, untuk dirinya sendiri. Dengan piaster sebesar sepuluh
pon, tokoh baru berfikir untuk bebas memilih apa yang disukainya termasuk
berapa harga jasanya dan siapa yang berhak memakai jasanya. Piaster ini
kemudian menandai garis tipis namun tegas yang membangun kesadaran tokoh
tentang kepemilikan atas tubuh dan jiwanya.
3. Keterbatasan
Ruang Gerak Perempuan
Pada
masa itu, dalam tradisi Mesir waktu itu tidak memberikan ruang gerak yang luas
kepada kaum perempuan. Hal ini terjadi dengan upaya mendomestikasi perempuan
dan melarang mereka masuk ke wilayah publik. Simak fragmen berikut:
Jika salah satu
anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh
kakinya dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan setiap malam.
Apabila yang itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan
malam dan merebahkan diri untuk tidur.[12]
Perempuan
mustahil untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Simak fragmen berikut:
“Apakah yang akan
kau berbuat di Kairo, Firdaus?” lalu saya menjawab, “Saya ingin ke el-Azhar dan
belajar seperti Paman”. Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa el-Azhar
hanya untuk kaum pria saja. Lalu saya menangis, dan memegangi tangannya,
sementara kereta api mulai bergerak maju. Tetapi ia menarik tangannya dengan
sekuat tenaga dan secara tiba-tiba sehingga saya jatuh tertelungkup.”[13]
Saya mencoba baca
beberapa kata. Kata-kata itu bagi saya seperti lambang-lambang penuh rahasia
yang membuat diri saya diliputi perasaan agak ketakutan. El-Azhar adalah satu
dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh orang lelaki saja, dan paman
merupakan salah seorang dari mereka, dan dia adalah seorang laki-laki.[14]
Dalam
suatu pertengkaran mengenai tempat tinggal Firdaus setelah tamat sekolah
menengah, terjadi tawar menawar antara Paman dan Istri:
“Apa yang akan
kita perbuat dengannya?” “Kita bisa bebas dari dia dengan mengirimkannya ke
universitas. Di sana dia dapat tinggal di asrama puteri”. “Ke universitas? Ke
suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan dengan lelaki? Seorang syekh
dan laki-laki yang saleh macam aku ini akan mengirimkan kemenakan untuk berbaur
dengan kumpulan orang laki-laki?[15]
Dari
beberapa percakapan di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan tidak mendapat
kesempatan untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi sehingga melahirkan kelemahan
perempuan di segala sisi. Kelemahan ini akhirnya memaksa mereka untuk tanpa
sadar dikuasai oleh lingkungannya tanpa sedikitpun memiliki hak untuk menawar.
C. Penutup
1.
Novel Perempuan di
Titik Nol merupakan karya sastra yang beraliran feminisme radikal;
2.
Unsur Feminisme yang
terkandung dalam novel ini adalah bahwa di dalam novel ini menceritakan tentang
pelecehan seksual, ketertindasan dan ruang gerak yang terbatas yang dirasakan
oleh seorang perempuan;
3.
Gerakan feminism yang
terdapat dalam novel tersebut yaitu ditunjukkan oleh sikap pasif dan menolak
grasi;
4.
Dengan adanya novel ini
diharapkan bahwa pemerintah Mesir akan lebih memperhatikan rakyatnya dan
kejadian yang dialami Firdaus tidak akan terulang dalam masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
El-Saadawi,
Nawal. Perempuan di Titik Nol, (Terj.).
1992. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Endraswara,
Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra
Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. 2003. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Kutha Ratna,
Nyoman. Teori, Metode dan Teknik
Penelitian Sastra. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Departemen Pendidikan
Nasional. 1995. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Cetakan Kedua, Jakarta: Balai Pustaka
[2] Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. h. 184
[3] Suwardi Endaraswara. 2011. Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta
: CAPS, h.145
[4] http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/sastra/dan/sastra/
feminis/dalam/kebudayan.pdf. h. 7-8
[8] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi,
Model, Teori dan Aplikasi (Yogyakarta, Pustaka Widyatama, 2003) h. 144
[10]Ibid. h.92
[11]Ibid. h.93
[12]Ibid. h.26
[13]Ibid. h.30
[14]Nawal el-Saadawi. Perempuan di Titik Nol
(Terj). (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1992), Loc Cit
[15]Ibid. h.52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar